MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MASYARAKAT DAN POLITIK DALAM ISLAM
Disusun oleh :
Ahmad Rifqi Faisal
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT
yang selalu memberikan limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyusun makalah ini dengan judul : “Politik dan Kenegaraan dalam
Pandangan Islam”
Politik itu sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari apalagi politik yang
harus dilakukan menurut pandangan Islam. Untuk itulah penulis sangat tertarik
untuk membahas makalah ini.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut
membantu tersusunnya makalah ini, diantaranya adalah :
1. Orangtua yang selalu memberi
semangat dan motivasi kepada penulis baik berupa moril maupun materil..
2.
Kepada rekan-rekan mahasiswa yang
turut membantu tersusunnya makalah ini yang tidak dapat penulis catumkan satu
persatu.
3.
Kepada Ibu Dosen Darul Qutni selaku
pengajar mata kuliah agama yang telah menyampaikan materi dengan baik.
Semoga
seluruh amal ibadah dan pengetahuannya dibalas oleh Allah SWT. Amin.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk kebaikan yang akan datang.
Demikian yang dapat penulis sampaikan semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam merupakan agama Allah Swt
sekaligus agama yang terakhir yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw melalui
malaikat jibril dengan tujuan untuk mengubah akhlak manusia ke arah yang lebih
baik di sisi Allah Swt. Banyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai
ketakwaan di sisi-Nya atau yang disebut juga dengan kata “Politik”. Karena
politik dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Tidak sedikit masyarakat menganggap bahwa politik adalah sesuatu yang negatif
yang harus dijauhi. Padahal tidak semestinya selalu begitu, bahkan politik
sangat dibutuhkan dalam hidup beragama. Andai saja kita tidak mempunyai cara
untuk melakukan pendekatan kepada Allah Swt, maka dapat dipastikan kita sebagai
manusia biasa juga tidak akan pernah mencapai kata beriman dan takwa
disisi-Nya, dikarenakan tidak akan pernah tercapai suatu tujuan jika tidak ada
usaha atau cara yang dilakukannya untuk mencapai tujuan tersebut. Realita
inilah yang harus kita ubah dikalangan masyarakat setempat, setidaknya dimulai
dari lingkungan keluarga, masyarakat, kemudian untuk bangsa dan negara kita.
Islam bukanlah suatu ilmu yang harus
dipertandingnya dengan tulisan atau dengan ceramah belaka tanpa diterapkan
dalam kehidupan sehari- hari. Karena islam sangat identik dengan sifat,
pemikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari- hari
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Tentunya untuk mencapai hal tersebut, kita harus mempunyai
suatu cara tertentu yang tidak melanggar koridor agama dan tidak merugikan umat
manusia. Banyak yang beranggapan bahwa jika agama dimasukkan dalam suatu politik,
maka agama ini tidak akan murni lagi. Penulis beranggapan lain, karena jika
agama tidak menggunakan suatu politik atau cara, maka agama tersebut tidak akan
sampai pada tujuannya. Kalaupun pada kenyataannya banyak yang tidak berhasil,
mungkin cara yang digunakan belum sempurna dan perlu menambahan ilmu.
Untuk itulah penulis sangat berharap
kepada kita semua, semoga setelah membaca atau membahas Makalah ini, kita semua
mampu menjadikan agama islam agama yang kembali sempurna untuk mengubah akhlak
manusia ke arah yang lebih baik di sisi-Nya, Amin.
B.
Manfaat Penulisan
Terdapat beberapa hal menurut penulis
yang mungkin akan bermanfaat bagi kita semua, diantaranya:
1.
Memahami bahwa
dalam beragama sangat dibutuhkan suatu politik atau cara atau dapat dikatakan
sebagai suatu metode untuk menjadikan agama tersebut lebih sempurna dan
mencapai jabatan takwa di sisi Allah Swt.
2.
Tidak lagi
beranggapan jika politik dalam agama itu tidak baik, dan jika ada orang- orang
sekitar atau masyarakat yang beranggapan demikian, mari kita beritahukan bahwa
agama sangat membutuhkan suatu politik yang bagus.
3.
Dapat menambah
keimanan kita sebagai manusia biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendekatkan
diri kepada-Nya.
C.
Tujuan Penulisan
Ada beberapa alasan mengapa tulisan ini
dibuat penulis, yaitu :
1.
Memenuhi tugas
mata kuliah Agama
2.
Dapat
membandingkan politik yang terjadi pada saat sekarang dengan politik menurut
pandangan Islam.
3.
Agar dapat
mengetahui dan memahami tentang politik secara Islam.
4.
Dengan
mengetahui pandangan politik secara Islam agar kita lebih dapat meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kita serta lebih mendapatkan posisi yang lebih baik di
hadapan AllahSWT.
BAB II
PEMBAHASAN
MASYARAKAT DAN POLITIK DALAM ISLAM
A.MASYARAKAT
DALAM ISLAM
Masyarakat
dalam pandangan islam merupakan alat atau sarana untuk melaksanakan
ajaran-ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bersama , karena itulah
masyarakat harus menjadi dasar kerangka mewujudkan persamaan dan keadilan.Pembinaan
masyarakat harus dimulai dari pribadi-pribadi, masing-masing wajib memelihara
diri, meningkatkan kualitas hidup agar hihup diterngah masyarakat itu, berguna
bagi masyarakat dan tidak merugikan orang lain. Islam mengajarkan bahwa
kualitas manusia yang baik adalah hyang banyak memberi manfaat bagi manusia
lain.
1.KEBUDAYAAN DAN
MASYARAKAT ISLAM
Kebudayaan
islam adalah cara berfikir dan cara merasa taqwa dan menyatakan diri dari
seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk masyarakat dalam
suatu ruang dan suatu waktu. Sedang masyarakat islam adalah sekelompok manusia
dimana hidup terjaring kebudayaan islam, yang diamankan oleh kelompok itu
sebagai kebudayaannya kelompok itu bekerjasama hidup berdasarkan
prinsip-prinsip Qur’an As-sunnah dalm tiap segi kehidupan.
2.KEADILAN DAN
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
MAKNA
KEADILAN
Keadilan
adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa Arab
" 'adl". Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata
ini pada mulanya berarti "sama". Persamaan tersebut sering dikaitkan
dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata "adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2)
berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.
"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut" lagi "tidak sewenang-wenang".
Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan".
Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu "yang patut" lagi "tidak sewenang-wenang".
Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan".
Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya.
Perhatikan
firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135,
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...
Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut "alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".
KEADILAN
DALAM AL-QURAN
Keadilan
yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada
proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran
juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin.
Dan apabila
kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat...!
(QS Al-An'am [6]: 152).
Dan
hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (QS
Al-Baqarah [2]: 282).
Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.
Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]: 25).
Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi" yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.
Allah
berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin
untuk seluruh manusia." Dia (Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar)
termasuk juga keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim" (QS Al-Baqarah [2]:
124).
Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk menegakkan keadilan.
Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan:
Dan langit
ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman
[55]: 7)
Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi.
RAGAM MAKNA
KEADILAN
Ketiga kata
-qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya digunakan oleh Al-Quran dalam
konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil.
Katakanlah,
"Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf
[7]: 29) Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan
(kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)
Dan langit
ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca (keadilan) agar kamu tidak melampaui
batas tentang neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).
Ketika
Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil, kata yang digunakanNya
hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).
Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti dikemukakan di atas, beragam aspek dan objek keadilan telah dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.
Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama.
Pertama, adil dalam arti "sama"
Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.
Dalam surat
Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa, Apabila kamu memutuskan perkara di antara
manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...
Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan.
Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.
Al-Quran
mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada Nabi Daud a.s. untuk
mencari keadilan. Orang pertama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing
betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang
banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus. Nabi Daud
tidak memutuskan perkara ini dengan membagi kambing-kambing itu dengan jumlah
yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan kambing
itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]: 23).
Kedua, adil dalam arti "seimbang"
Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.
Wahai
manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang) (QS Al-Infithar [82]:
6-7).
Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).
Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa,
(Allah) Yang
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada
ciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS Al-Mulk
[67]: 3)
Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan.
Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.
Matahari dan
bulan beredar dengan perhitungan yang amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).
Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (QS Al-Qamar
[54]: 49)
Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" atau "memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif.
Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi
Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."
Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka pada saat itu juga B mengambil hak dari A. Kaidah ini tidak berlaku untuk Allah SWT, karena Dia memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya.
Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya yang menunjukkan Allah SWT sebagai qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:
Dan Tuhanmu
tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya (QS Fushshilat [41]: 46).
KEADILAN
MENCAKUP SEMUA HAL
Seperti
dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola alam raya ini dengan
keadilan, dan menuntut agar keadilan mencakup semua aspek kehidupan. Akidah,
syariat atau hukum, akhlak, bahkan cinta dan benci.
Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia
(yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari
keduanya... (QS Al-Nisa' [14]: 135)
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS Al-Ma-idah [5]: 8)
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS Al-Ma-idah [5]: 8)
Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya. Itu sebabnya Rasul saw mewanti-wanti agar,
Berhati-hatilah
terhadap doa (orang) yang teranianya, walaupun dia kafir, karena tidak ada
pemisah antara doanya dengan Tuhan. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan "tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang yang tidak
menerangimu karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau membantu
orang lain untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Ibnu 'Arabi, pakar tafsir dan hukum Islam bermazhab Maliki, tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata taqshithu pada firman Allah di atas dalam arti berlaku adil. "Berlaku adil", tulisnya, "adalah wajib terhadap orang-orang kafir (baik yang memerangi maupun yang tidak)." Kata taqsithu di sini menurutnya adalah "memberi bagian dari harta guna menjalin hubungan baik".
Keadilan harus ditegakkan di mana pun, kapan pun, dan terhadap siapa pun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas. Salah satu ayat Al-Quran menggandengkan "timbangan" (alat ukur yang adil) dengan "besi" yang antara lain digunakan sebagai senjata. Ini untuk memberi isyarat bahwa kekerasan adalah salah satu cara untuk menegakkan keadilan.
Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Al-Mizan (neraca keadilan), dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia (supaya besi itu digunakan). Allah mengetahui siapa yang menolong
(memperjuangkan nilai-nilai) agama-Nya dan membantu rasul-rasul-Nya, walaupun
Allah gaib dari pandangan mata mereka [QS Al-Hadid [57]: 25).
Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah ishlah (perdamaian) di antara keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi (ambil tindakan tegas terhadap) yang membangkang, sehingga ia menerima ketetapan Allah (QS Al-Hujurat. Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Hujurat [49]: 9)
Apabila dua kelompok Mukmin berselisih, lakukanlah ishlah (perdamaian) di antara keduanya. Bila salah satu dari kedua kelompok itu membangkang, maka perangi (ambil tindakan tegas terhadap) yang membangkang, sehingga ia menerima ketetapan Allah (QS Al-Hujurat. Apabila ia (kelompok yang membangkang itu) telah kembali (taat) maka lakukanlah perdamaian dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Hujurat [49]: 9)
Sungguh tepat menggandengkan perintah mendamaikan pada lanjutan ayat ini dengan "keharusan berlaku adil". Karena walaupun keadilan dituntut dalam setiap sikap sejak awal proses perdamaian, tetapi sikap itu lebih dibutuhkan untuk para juru damai setelah mereka terlibat menindak tegas kelompok pembangkang. Ini karena besar kemungkinan mereka pun mengalami kerugian, harta, jiwa, atau paling tidak harga diri akibat ulah para pembangkang. Kerugian tersebut dapat mendorongnya untuk berlaku tidak adil, karena itu ayat ini menekankan terhadap mereka kewajiban berlaku adil.
Begitu luas pesan keadilan Al-Quran, sehingga seseorang yang merasa sempit dari keadilan, pasti akan merasakan bahwa ketidakadilan jauh lebih sempit.
KEADILAN
ILAHI
Pembicaraan
tentang keadilan Ilahi bukanlah sesuatu yang baru. Persoalan ini hadir sejak
manusia mengenal baik dan buruk Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada
kejahatan, ada penyakit dan kemiskinan, bahkan mengapa Tuhan menganugerahkan si
A segala kenikmatan, dan menjadikan si B tenggelam ke dalam bencana? Kesemua
pertanyaan itu dapat menjadi wajar.
Tetapi tidak mudah memahami -apalagi menjelaskan- persoalan ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Ia merupakan salah satu hal yang amat muskil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, "Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya." Jawaban semacam ini jelas tidak memuaskan nalar.
Pada masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan: Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti ini -yang sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik pada penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya.
Tetapi tidak mudah memahami -apalagi menjelaskan- persoalan ini jika dikaitkan dengan keadilan Ilahi. Ia merupakan salah satu hal yang amat muskil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata, "Ada hikmah di balik setiap peristiwa, baik yang dinilai sebagai ketidakadilan (kejahatan) maupun sebaliknya." Jawaban semacam ini jelas tidak memuaskan nalar.
Pada masyarakat primitif terdapat keyakinan adanya dua Tuhan: Tuhan Cahaya (Kebaikan) dan Tuhan Kegelapan. Keyakinan seperti ini -yang sekaligus merupakan jawaban- ditolak oleh penganut monoteisme. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik pada penciptaan, penguasaan, maupun pengaturan alam raya.
Segala puji
bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan yang menjadikan
kegelapan dan cahaya (QS Al-An'am [6]: 1)
Sebagian pakar agama termasuk agama Islam menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa yang dinamakan kejahatan atau keburukan sebenarnya tidak ada, atau paling tidak hanya terdapat pada nalar manusia yang memandang secara parsial. Bukankah Allah menegaskan dalam Al-Quran bahwa,
Dialah yang
membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya (QS Al-Ahzab [32]: 7)
Kalau demikian, segala sesuatu diciptakan oleh Allah, dan segala sesuatu yang bersumber dari Allah pasti baik. Keburukan adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian.
Boleh jadi
engkau membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan bolehjadi engkau
menyenangi sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak
mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 216)
Nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan menyeluruh, justru hal itu merupakan unsur keindahan dan kebaikan. Bukankah jika pandangan hanya ditujukan kepada tahi lalat di wajah seorang wanita akan terlihat buruk? Tetapi, bila wajah dipandang secara menyeluruh, tahi lalat tadi justru menjadi unsur utama kecantikannya! Bukankah jika Anda hanya melihat kaki seseorang dipotong, Anda akan menilainya kejam, tetapi bila Anda mengetahui bahwa sang dokterlah yang mengamputasi pasiennya, Anda justru akan berterima kasih dan memujinya? Karena itu, jangan memandang kebijaksanaan Allah secara mikro. Kalaupun Anda tidak mampu memandangnya secara makro, yakinilah bahwa ada hikmah di balik semua itu.
Boleh jadi nalar Anda belum puas. Sekali lagi, mengapa ada kejahatan, ada setan yang diciptakan-Nya untuk menggoda, atau ada nasib baik dan nasib buruk yang dialami manusia?
Al-Quran menyatakan bahwa jenis manusia adalah satu kesatuan,
"Manusia
itu adalah untuk umat yang satu" (QS Al-Baqarah [2]: 213)
Bahkan seluruh jagat raya merupakan satu kesatuan.
Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan adalah umat (satu kesatuan) seperti kamu juga. Tidak Kami
alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab (pengetahuan Tuhan). Kemudian kepada
Tuhanmulah mereka dihimpunkan (QS Al-An'am [6]: 38).
Jika demikian, pribadi demi pribadi secara sadar atau tidak, bekerja sama dan saling menopang demi kebahagiaan bersama, dan untuk itu ada di antara mereka yang menjadi "korban" demi kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengorbanan itu merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia. Korban (yang mengalami "keburukan") harus ada, demi mewujudnya kebaikan dan keindahan. Bagaimana mungkin manusia mengetahui arti berani, jika tidak ada bahaya? Bagaimana mereka mengetahui nikmatnya sehat, bila tidak merasakan sakit? Apa artinya kesabaran jika tidak ada malapetaka? Nah, siapakah yang harus mengalami semua itu? Jika bukan makhluk juga?
Apabila
penderitaan itu terjadi karena kesalahan, maka setimpallah akibat dengan
ulahnya. Sedangkan apabila tidak bersalah, maka pengorbanan manusia akan
beroleh ganjaran di sisi Allah, yakni pengampunan dosa dan ketinggian derajat
di akhirat sana (QS Al-Baqarah [2]: 155-157)
Patut dicatat bahwa Allah memberikan potensi kepada manusia untuk mampu memikul kesedihan dan melupakannya, begitu kata pakar psikologi dan begitu juga isyarat Al-Quran.
Tidak satu
petaka pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk kepada
hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS Al-Taghabun [64]: 11)
Manusia harus bekerja sama memikul bencana untuk mencapai dan memahami tujuan keberadaannya.
Anda boleh bertanya, "Mengapa kerja sama itu harus ada? Bukankah Allah Mahamutlak kesempurnaan dan kekuasaanNya, sehingga Dia kuasa menciptakan alam tanpa kekurangan atau pun tanpa kerja sama?"
Benar! Allah Mahamutlak kesempurnaan-Nya, karena
Bagi
Allahlah segala sifat yang terpuji (QS Al-A'raf [7]: 180)
Dia Mahakuasa, tiada sedikit pun kekurangan-Nya. Apakah nalar Anda menuntut agar Dia menciptakan suatu ciptaan yang memiliki kesempurnaan mutlak seperti kesempurnaan-Nya? Jika itu yang diinginkan, akan terdapat dua Tuhan, dan ini mustahil. Bukan saja dari segi redaksional kata "mutlak" (kemutlakan mengandung arti kesendirian), melainkan juga mustahil dari sisi keyakinan "keesaan-Nya", serta bertentangan pula dengan firman-Nya,
Tiada yang
serupa dengan-Nya satu pun (QS [42]: 11)
Yakni, jangankan yang sama dengan-Nya, yang serupa dengan serupa-Nya pun tiada.
Adalah logis bahwa Pencipta harus berbeda dengan yang diciptakan. Yang diciptakan kurang sempurna dibandingkan sang pencipta. Kekurangan dan ketidaksempurnaan itu mencakup apa yang dinamai atau diduga sebagai keburukan. Jangan lupa bahwa yang dinamakan dan dikeluhkan manusia itu tidak mencakup seluruh alam sebagai suatu unit dan serentak, melainkan hanya diderita oleh sebagian unsur-unsurnya. Bahkan sering kejahatan yang diderita seseorang dapat menjadi nikmat bagi dirinya sendiri di masa datang, atau merupakan nikmat bagi yang lain. Harus diingat juga bahwa terdapat banyak makhluk Allah dan sebagian besar tidak diketahui manusia, sebab seperti firman-Nya,
Dia
menciptakan (makhluk) yang tidak kamu ketahui (QS Al-Nahl [16]: 8)
Konon pengetahuan manusia baru dapat menjangkau sekitar 3% dari seluruh alam raya ini.
Apakah nalar manusia menginginkan agar Tuhan tidak menciptakan manusia sama sekali? Jangan berkeinginan seperti itu, karena ini bertentangan dengan makna kekuasaan-Nya. Bukankah wujud dan kekuasaan-Nya tidak dapat tercermin kecuali melalui ciptaan-Nya?
Boleh jadi Anda berkata bahwa yang dikemukakan di atas ini adalah tinjauan kekuasaan dan kodrat Ilahi, bukan dari sudut pandang rahmat dan nikmat-Nya. Bukankah dari sudut tinjauan ini, "tidak menciptakan sama sekali justru jauh lebih baik daripada menciptakan sesuatu yang disertai dengan kepedihan dan kejahatan?"
Barangkali demikian. Tetapi, mungkin juga pernyataan "mencipta dan memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi, dan memperoleh rahmat sewaktu terdapat kemungkinan eksis atau potensi untuk mencapai kesempurnaan" (seperti makna keadilan Ilahi yang dikemukakan sebelum ini), jauh lebih baik.
Jika seperti itu adanya, persoalan keadilan Ilahi bukan problem nalar, melainkan problem rasa, sebagai akibat dari keinginan manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk diri, keluarga, atau jenisnya saja, hingga melupakan pihak lain. Jika problemnya demikian, yang mampu menanggulanginya adalah rasa juga. Di sinilah agama dan keyakinan berperan amat besar.
KEADILAN
SOSIAL
Al-Quran
menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan bermasyarakat adalah keadilan.
Tidak lebih dan tidak kurang. Berbuat baik melebihi keadilan --seperti
memaafkan yang bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas-- akan dapat
menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan" (QS Al-Nahl 116]: 90), karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan.
Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya jika dilakukan pada tingkat masyarakat.
Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan pada tempatnya." Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya, mengapa Nabi saw menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya.
Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh seseorang. Dia menangkap pencurinya dan membawanya kepada Nabi saw Beliau memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi Shafwan memaafkan, maka Nabi saw bersabda : "Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya kepadaku" (Diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan An-Nasa'i).
Hidup adalah perjuangan. Yang baik dan bermanfaat akan bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Demikian ketetapan Ilahi.
Memang Al-Quran memerintahkan perbuatan adil dan kebajikan seperti bunyi firman-Nya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan" (QS Al-Nahl 116]: 90), karena ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada kedermawanan atau ihsan.
Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik. Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu, tetapi dapat berbahaya jika dilakukan pada tingkat masyarakat.
Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan pada tempatnya." Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya, mengapa Nabi saw menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan, walau pemilik harta telah memaafkannya.
Shafwan bin Umayyah dicuri pakaiannya oleh seseorang. Dia menangkap pencurinya dan membawanya kepada Nabi saw Beliau memerintahkan memotong tangan pencuri, tetapi Shafwan memaafkan, maka Nabi saw bersabda : "Seharusnya ini (pemanfaan) sebelum engkau membawanya kepadaku" (Diriwayatkan oleh Ahmad At-Tirmidzi dan An-Nasa'i).
Hidup adalah perjuangan. Yang baik dan bermanfaat akan bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Demikian ketetapan Ilahi.
Adapun buih
itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, sedangkan yang memben
manfaat bagi manusia itulah yang tetap bertahan di bumi. Demikianlah Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan (QS Al-Raid [13]: 17)
Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan potensi dan kemampuan para rasul pun demikian (QS Al-Baqarah [2]: 253). Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan pertentangan. Sebaliknya, perbedaan itu harus mengantarkan kepada kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Demikian kandungan makna firman-Nya pada surat Al-Hujurat (49): 13.
Dalam surat
Az-Zukhruf (43): 32 tujuan perbedaan itu dinyatakan:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka (melalui sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka (melalui sunnatullah) penghidupan mereka di dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beaberapa tingkatan, agar mereka dapat saling menggunakan (memanfaatkan kelebihan dan kekurangan masing-masing) rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
Setiap anggota masyarakat dituntut untuk fastabiqul khairat (berlomba-lombalah di dalam kebajikan) (QS Al-Baqarah [2]: 148). Setiap perlombaan menjanjikan "hadiah". Di sini hadiahnya adalah mendapatkan keistimewaan bagi yang berprestasi. Tentu akan tidak adil jika peserta lomba dibedakan atau tidak diberi kesempatan yang sama. Tetapi, tidak adil juga bila setelah berlomba dengan prestasi yang berbeda, hadiahnya dipersamakan, sebab akal maupun agama menolak hal ini.
Adakah sama
orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (QS Al-Zumar
[39]: 9)
Keadilan sosial bukan mempersamakan semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan mengukir prestasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial didefinisikan sebagai "kerja sama untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu secara organik, sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh berkembang sesuai kemampuan masing-masing."
Nah, jika di antara mereka ada yang tidak dapat meraih prestasi atau memenuhi kebutuhan pokoknya, masyarakat yang berkeadilan sosial terpanggil untuk membantu mereka agar mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial semacam inilah yang akan melahirkan kesejahteraan sosial. Bukankah telah dikemukakan pada awal uraian ini bahwa keadilan akan mengantarkan kita kepada kesejahteraan? Dengan kata lain, bukti atau anak sah keadilan sosial adalah kesejahteraan sosial.
KESEJAHTERAAN
SOSIAL
"Sejahtera"
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "aman, sentosa dan makmur;
selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya." Dengan
demikian kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera.
Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga.
Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan.
Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan Allah kepada Adam:
Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di surga.
Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan.
Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam peringatan Allah kepada Adam:
Hai Adam,
sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali
jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau
akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga),
tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga
maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119)
Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, den papan yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang, dan kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia:
Mereka tidak
mendengar di dalamnya (surga) perkataan sia-sia; tidak pula (terdengar adanya)
dosa, tetapi ucapan salam dan salam (sikap damai) (QS Al-Waqi'ah [56]: 25 dan
26)
Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman (Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21)
Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang beriman (Baca surat Ya Sin [36]: 55-58, dan Al-Thur [52]: 21)
Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewuJudkan bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Ilahi.
Kemudian
jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam, setelah engkau berada di dunia,
maka ikutilah). Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada
ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan (QS Al-Baqarah [2]: 38)
Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-Quran. Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai dengan kondisi pribadi, masyarakat, serta perkembangan zaman.
Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan, dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan diri, sanak keluarga, bahkan lingkungan. Sayyid Quthb mengatakan bahwa:
Sistem kesejahteraan sosial yang diajarkan Islam bukan sekadar bantuan keuangan --apa pun bentuknya. Bantuan keuangan hanya merupakan satu dari sekian bentuk bantuan yang dianjurkan Islam.
DARI MANAKAH
MEMULAINYA
Kesejahteraan
sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan dan menumbuhsuburkan aspek-aspek
akidah dan etika pada diri pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan
lahir masyarakat seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad
saw, melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi ini melahirkan
keluarga seimbang: Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra', dan
lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan
sebagainya, yang juga membentuk keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga
pada akhirnya terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya.
Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality):
Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).
Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa:
Kesejahteraan sosial dimulai dengan "Islam", yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT Tidak mungkin jiwa akan merasakan ketenangan apabila kepribadian terpecah (split personality):
Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29).
Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan Allah --apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal-- adalah pilihan terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal mungkin, kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa:
Tiada satu
bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan
telah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya
kamu jangan berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu, dan jangan juga
terlalu gembira (melampaui batas) terhadap hal yang diberikannya kepada kamu...
(QS Al-Hadid [57]: 22-23)
Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan yang serasi di antara semua anggota masyarakat, yang salah satu cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum diminta oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi kepentingan orang banyak.
Mereka
mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
membutuhkan (apa yang mereka berikan itu) (QS Al-Hasyr [59]: 9)
Setiap pribadi bertanggung jawab untuk mensucikan jiwa dan hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik dari segi jasmani maupun ruhani. Tentunya, tanggung jawab ini mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan.
Dari sini Al-Quran memerintahkan penyisihan sebagian hasil usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat yang diulang-ulang Al-Quran sebagai tanda orang bertakwa adalah,
Dan sebagian
dari yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan (QS Al-Baqarah [2]:
3)
Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa aman menghadapi masa depan, diri, dan keluarga.
Dan
hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejabteraannya).
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar (QS Al-Nisa' [4]: 9)
Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik antara pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap pribadi. Kewajiban tersebut --sebagaimana halnya setiap kewajiban-- melahirkan hak-hak tertentu yang sifatnya adalah keserasian dan keseimbangan di antara keduanya. Sekali lagi kewajiban dan hak tersebut tidak terbatas pada bentuk penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.
Siapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak mampu maka dengan lidah, dan bila (inipun) ia tak mampu, maka dengan hati dan inilah selemah-lemahnya iman (Diriwayatkan oleh Muslim).
Demikian sabda Nabi saw yang pada akhirnya melahirkan pesan, bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis atau pahitnya sesuatu yang terjadi di dalam masyarakatnya, bukan bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan ratusan hadis yang menekankan keterikatan iman dengan rasa senasib dan sepenanggungan, di antaranya:
Tahukah kamu
orang yang mendustakan agama? Mereka itulah orang yang menghardik anak yatim,
dan tidak menganjurkan memberi pangan kepada orang miskin (QS Al-Ma'un [107]:
1-3)
Redaksi ayat di atas bukanlah "tidak memberi makan", melainkan "tidak menganjurkan memberi pangan". Ini mencerrninkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan memberi, minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini pun tidak dilakukannya, sesuai ayat di atas ia termasuk orang yang mendustakan agama dan hari pembalasan.
Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka yang berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan pekerjaan untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah monopoli dilarang-Nya. Jangankan di dalam bidang ekonomi, pada tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan kelapangan:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu,
"Berlapang-lapanglah di dalam majelis!", maka lapangkanlah. Niscaya
Allah memberi kelapangan untuk kamu (QS Al-Mujadilah [58]: 11)
Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12)
Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta, dan kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya ini terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan (QS Al-Hujurat [49]: 11-12)
Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seseorang datang kepada Nabi saw mengadukan kemiskinannya, Nabi saw tidak memberinya uang tetapi kapak agar digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan kayu.
Di sisi lain, perlu diingat bahwa Al-Quran menegaskan perkataan yang baik pada saat menolak, serta memaafkan tingkah laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik daripada memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang menyakitkan.
Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (QS Al-Baqarah [2]: 263)
Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah [2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19)
Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al-Quran melarang beberapa praktek yang dapat mengganggu keserasian hubungan antar anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS Al-Baqarah [2]: 275), dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar kerelaan (QS Al-Nisa' [4]: 29). Di samping itu, ditetapkan bahwa pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun sedekah (QS Al-Dzariyat [51]: 19)
Demikian sekelumit wawasan Al-Quran tentang keadilan dan kesejahteraan.
Tidak dipungkiri bahwa uraian ini sangat terbatas dibanding dengan wawasan Al-Quran tentang topik di atas. Namun, prinsip-prinsip dasar dari wawasan Al-Quran kiranya --melalui tulisan singkat ini-- telah dapat tercerminkan.
KONSEP DAN
PRINSIP MASYARAKAT MADANI
Ide pembentukan masyarakat madani telah mulaidiberkembangkan
sejak jaman Yunani klasik seperti oleh ahli pikir Cicero.
Makna utama dari masyakat madani adalah masyarakat yangmenjadikan nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Karena itudalam
sejarah pemikiran filsafat, sejak filsafat Yunani sampai masafilsafat islam juga dikenal dengan istilah madinah
atau polis, yang berarti kota,
yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban.Masyarakat madani menjadi
simbol idealisme yang diharapkan olehsetiap
masyarakat. Di dalam al qur’an Allah memberikan ilustrasimasyarakat
ideal, sebagai gambaran dari Masyarakat madani denganfirmanNya dalam al qur’an yang artinya :
(Negerimu) adalahnegeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan Yang Maha Pengampun
Masyarakat madani sebagai masyarakat yang ideal itu memilikikarakteristik sebagai berikut : (1) bertuhan, (2) damai, (3)
tolong-menolong, (4) toleran, (5) keseimbangan antara hak dan kewajibansosial. Konsep zakat, infak, shadaqah dan hibah bagi umat islamserta ijazah
dan kharaj bagi non islam, merupakan salah satu wujudkeseimbangan yang adil dalam masalah tersebut, (6) berperadabantinggi,
(7) berakhlak mulia.
B. Pengertian Poltik Islam
Islam bukanlah semata agama (a
religion) namun juga merupakan sistem politik (a political sistem),
Islam lebih dari sekedar agama. Islam mencerminkan teori-teori
perundang-undangan dan politik. Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap,
yang mencakup agama dan Negara secara bersamaan (M.Dhiaduddin Rais, 2001:5).
Nabi Muhammad SAW adalah seorang
politikus yang bijaksana. Di Madinah beliau membangun Negara Islam yang pertama
dan meletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam. Nabi Muhammad pada
waktu yang sama menjadi kepala agama dan kepala Negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian politik sebagai kata
benda ada tiga, yaitu : (1) pengetahuan mengenai kenegaraan (tentang sistem
pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan atau terhadap
negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani
suatu masalah).
Politik itu identik dengan siasah , yang secara pembahasannya
artinya mengatur. Dalam fikih, siasah meliputi :
1.
Siasah Dusturiyyah (Tata Negara
dalam Islam)
2.
Siasah Dauliyyah ( Politik yang
mengatur hubungan antara satu negara Islam dengan negara Islam yang lain atau
dengan negara sekuler lainnya.
3.
Siasah Maaliyah (Sistem ekonomi
negara)
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi yang dapat
mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang berbeda-beda di
masyarakat. Dalam konsep Islam, kekuasaan tertinggi adalah Allah SWT. Ekrepesi
kekuasaan dan kehendak Allah tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Oleh
karena itu penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil
(khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah
dalam kehidupan nyata. Di samping itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang
diberikan kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah
menggunakan kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar yang telah ditetapkan Al-Quran dan Sunnah Rasul.
B.
Norma Politik dalam Islam
Dalam pelaksanaan politik, Islam juga memiliki norma-norma
yang harus diperhatikan. Norma-norma ini merupakan karakteristik pembeda
politik Islam dari system poltik lainnya. Diantara norma-norma itu ialah :
1.
Poltik merupakan alat atau sarana
untuk mencapai tujuan, bukan dijadikan sebagai tujuan akhir atau satu-satunya.
2.
Politik Islam berhubungan dengan
kemashlahatan umat.
3.
Kekuasaan mutlak adalah milik Allah.
4.
Manusia diberi amanah sebagai khalifah
untuk mengatur ala mini secara baik.
5.
Pengangkatan pemimpin didasari atas
prinsip musyawarah.
6.
Ketaatan kepada pemimpin wajib
hukumnya setelah taat kepada Allah dan Rasul .
7.
Islam tidak menentukan secara
eksplisit bentuk pemerintahan Negara.
C.
Prinsip-Pinsip Politik dalam
Pandangan Islam
1. Prinsip-prinsip dasar politik Islam
System
politik berdasarkan atas tiga (3) prinsip yaitu :
a.
Tauhid berarti mengesakan Allah SWT
selaku pemilik kedaulatan tertinggi.
Pandangan
Islam terhadap kekuasaan tidak terlepas dari ajaran tauhid bahwa penguasa
tertinggi dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan politik dan
bernegara adalah Allah SWT (QS.5:18)
b.
Risalah merupakan medium perantara
penerimaan manusia terhadap hukum-hukum ALLah SWT.
Manusia
baik dia pejabat pemerintah atau rakyat jelata adalah Khalifah-Nya, mandataris
atau pelaksana amanah-Nya dalam kehidupan ini (QS.2:30).
c.
Khalifah berarti pemimpin atau wakil
Allah di bumi.
Pemerintahan
baru wajib di patuhi kalau politik dan kebijaksanaannya merujuk kepada Al-Quran
dan hadist atau tidak bertentangan dengan keduanya.
Prinsip-prinsip dasar siasyah dalam Islam meliputi antara lain :
1. Musyawarah.
2. Pembahasan Bersama.
3. Tujuan bersama, yakni untuk mencapai
suatu keputusan.
4. Keputusan itu merupakan penyelesaian
dari suatu masalah yang dihadapi bersama.
5. Keadilan.
6. Al-Musaawah atau persamaan.
7. Al-hurriyyah
(kemerdekaan/kebebasan).
8. Perlindungan jiwa raga dan harta
masyarakat .
2. Prinsip-prinsip politik luar negeri
dalam Islam (Siasah Dauliyyah)
Dalam
Al-Quran, ditemui beberapa prinsippolitik luar negeri dalam Islam, yaitu :
a.
Saling menghormati fakta-fakta dan
traktat-traktat, lihat QS.8:58, QS.9:4, QS.16:91, QS.17:34.
b.
Kehormatan dan Integrasi Nasional,
lihat QS.16:92
c.
Keadilan Universal (Internasional),
lihat QS. 5:8.
d.
Menjaga perdamaian abadi, lihat
QS.5:61.
e.
Menjaga kenetralan negara-negara
lain, lihat QS.4:89,90.
f.
Larangan terhadap eksploitasi para
imperialis, lihat QS.6:92.
g.
Memberikan perlindungan dan dukungan
kepada orang-orang Islam yang hidup di negara lain, lihat QS.8:72.
h.
Bersahabat dengan
kekuasaan-kekuasaan netral, lihat QS.60:8,9.
i.
Kehormatan dalam hubungan
Internasional, lihat QS.55:60.
j.
Persamaan keadilan untuk para
penyerang, lihat QS.2:195, QS.16:126, dan QS.42:40.
D.
Syarat Kepemimpinan Politik dalam
Islam
Kepemimpinan politik dalam Islam harus memenuhi syarat-syarat
yang telah digariskan oleh ajaran agama. Penjelasan itu terdapat dalam surat An-Nisa’,(4):58-59.
Pada ayat itu disimpulkan bahwa terdapat beberapa syarat kepemimpinan politik
dalam Islam antara lain;
1. Amanah yaitu bertanggung jawab
dengan tugas dan kewenangan yang diemban
2. Adil yaitu mampu menempatkan segala
sesuatu secara tepat dan proporsional
3. Taat kepada Allah dan Rasul
4. Menjadikan quran dan sunnah sebagai
referensi utama.
E.
Hak Asasi Manusia dalam Pandangan
Islam
1. Sejarah hak asasi manusia
Menurut Jan Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Hak
Asasi Manusia itu adalah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa
dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa secara kodrati
diberi hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara yang satu
dengan lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri
pribadi, peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.
Dilihat dari sejarahnya, (yang dipelajari orang sekarang)
umumnya pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya hak asasi manusia dimulai
dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Dari sinilah lahir
doktrin raja tidak kebal hukum lagi. Dengan demikian kekuasaan raja mulai
dibatasi dan kondisi ini merupakan embrio bagi lahirnya monarki
konstituional yang berintikan kekuasaan raja hanya sebagi symbol belaka.
Kalau kita jujur kepada sejarah, sebenarnya hak asasi
manusia sudah ada sejak abad ke tujuh, tetapi betul-betul dipratekkandalam
kehidupan. Pada zaman itu dikenal dengan istilah perbudakan. Dengan
lahirnya ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, perbudakan mulai
dihapuskan dengan cara memerdekakan mereka dari budak.
Lahirnya magna charta diikuti dengan lahirnya Bill of
Rihgts di Inggris pada tahun 1689. pada saat itu mulai ada peraturan yang
berintikan bahwa manusia sama di muka hokum. Perkembangan hak asasi selanjutnya
ditandai munculnya “The American Declaration of Independence” yang lahir
dari paham Rousseau dan Monterquieu. Selanjutnya muncul pada tahun 1789 “The
French Declaration”, dimana hak-hak asasi lebih dirinci lahir yang kemudian
The Rule of Law.
2. Perbedaan prinsip antara konsep HAM
dalam pandangan Islam dan Barat
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat
dari sudut pandangan Barat dan Islam. Hak asasi manusia menurut pandangan Barat
semata-mata bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat pada
manusia. Sedangkan hak asasi manusia menurut pandangan Islam bersifat
teosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan.
Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Rights dilukiskan dalam berbagai ayat. Apabila
prinsip-prinsip human rights yang terdapat dalam universal declaration of Human
Rights dibandingkan dengan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam ajaran
Islam, maka dalam Al-Quran dan As-Sunnah akan dijumpai antara lain,
prinsip-prinsip human rights :
1)
Martabat manusia.
2)
Prinsip persamaan.
3)
Prnsip kebebasan menyatakan
pendapat.
4)
Prinsip kebebasan beragama.
5)
Hak atas jaminan social.
6)
Hak atas harta benda.
F.
Demokrasi dalam Islam
Demokrasi Islam dianggap sebagai system yang mengkukuhkan
konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu:
1)
Musyawarah (syura)
2)
Persetujuan (ijma’)
3)
Penilaian interpretative yang
mandiri (ijtihad)
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifan
manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan QS.42:28. yang
isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk
menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah.
G.
Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan
nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Di dalam Al-Quran, Allah SWT
memberikan ilustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari masyarakat Madani
dengan firman-Nya dalam Al-Quran yang artinya (Negerimu), adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. (Saba’ 34:15)
Masyarakat Madani sebagai masyarakat yang ideal itu memiliki
karakteristik sebagai berikut :
1)
Bertuhan
2)
Damai
3)
Tolong –menolong
4)
Toleran
5)
Keseimbangan antara hak dan
kewajiban social
6)
Berperadaban tinggi
7)
Berakhlak mulia
H.
Kontribusi Umat Islam dalam
Perpolitikan Nasional
Kontribusi agama Islam dalam kehidupan politik berbangsa dan
bernegara ialah :
1)
Politik ialah: Kemahiran
2)
Menghimpun kekuatan
3)
Meningkatkan kwantitas dan kwalitas
kekuatan
4)
Mengawasi kekuatan dan
5)
Menggunakan kekuatan, untukmencapai
tujuan kekuasaan tertentu didalamnegara atau institut lainnya.
Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan Nasional sudah
dimulai semenjak masa penjajahan (prakemerdekaan).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan pada makalah
ini yaitu :
Manusia diciptakan Allah dengan sifat bawaan ketergantungan
kepada-Nya di samping sifat-sifat keutamaan, kemampuan jasmani dan rohani yang
memungkinkan ia melaksanakan fungsinya sebagai khalifah untuk memakmuran bumi.
Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa dalam keutamaan manusia itu terdapat pula
keterbatasan atau kelemahannya. Karena kelemahanya itu, manusia tidak mampu
mempertahankan dirinya kecuali dengan bantuan Allah.
Bentuk bantuan Allah itu terutama berupa agama sebagai
pedoman hidup di dunia dalam rangka mencapai kebahagiaan di akhirat nanti.
Dengan bantuan-Nya Allah menunjukkan jalan yang harus di tempuh manusia untuk
mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia hanya dapat terwujud jika
manusia mampu mengaktualisasikan hakikat keberadaannya sebagai makhluk utama
yang bertanggung jawab atas tegaknya hukum Tuhan dalam pembangunan kemakmuran
di bumi untuk itu Al-Qur'an yang memuat wahyu Allah, menunjukkan jalan dan
harapan yakni (1) agar manusia mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah
(sifat asal atau kesucian)nya, (2) mewujudkan kebajikan atau kebaikan dengan
menegakkan hukum, (3) memelihara dan memenuhi hak-hak masyarakat dan pribadi,
dan pada saat yang sama memelihara diri atau membebaskan diri dari kekejian,
kemunkaran dan kesewenang-wenangan. Untuk itu di perlukan sebuah system politik
sebagain sarana dan wahana (alat untuk mencapai tujuan) yaitu Politik Islam.
B.
Saran
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, sudah
sepatutnya memiliki peran utama dalam kehidupan politik sebuah negara. Untuk
menuju ke arah integrasi kehidupan masyarakat, negara dan Islam diperlukan
ijtihad yang akan memberikan pedoman bagi anggota parlemen atau politisi dalam
menjelaskan hujahnya dalam berpolitik. Dan interaksi umat Islam yang hidup
dalam alam modern ini dengan politik akan memberikan pengalaman dan tantangan
baru menuju masyarakat yang adil dan makmur. Berpolitik yang bersih dan sehat
akan menambah kepercayaan masyarakat khususnya di Indonesia bahwa memang Islam
mengatur seluruh aspek mulai ekonomi, sosial, militer, budaya sampai dengan
politik.